Thu, 27 Mar 2025
JIMBARAN – Ratusan penonton memadati area Sekolah Widiatmika pada 25 Maret 2025 untuk menyaksikan Kirab Budaya 2025, sebuah perayaan tahunan yang memadukan tradisi dan pesan lingkungan. Suara baleganjur yang menggelegar, warna-warni ogoh-ogoh dari barang bekas, serta lakon Baruna Murti yang menyentuh hati menciptakan pengalaman yang tak terlupakan.
Kirab ini bukan sekadar menjadi perayaan budaya, tetapi juga wujud nyata komitmen Sekolah Widiatmika dalam menanamkan kesadaran lingkungan, menjaga keseimbangan alam, dan melestarikan budaya Bali. Dengan tema Amuk Kaning Pertiwi (Murka Alam), acara ini merefleksikan berbagai bencana akibat ketidakseimbangan hubungan antara manusia dan alam.
Ketua Panitia Kirab Budaya Sekolah Widiatmika 2025, Ananta Victorious Octabrian, menegaskan bahwa kegiatan ini telah berkembang menjadi salah satu acara terbesar di sekolah. Lebih dari sekadar hiburan, kirab ini menjadi sarana edukatif yang memperkenalkan nilai-nilai kearifan lokal kepada siswa dan masyarakat.
“Kami ingin mengajak siswa dan masyarakat untuk lebih sadar akan pentingnya menjaga harmoni ekosistem. Dengan Kirab Budaya ini, kami menyampaikan pesan bahwa alam akan murka jika kita terus merusaknya. Melalui seni dan budaya, pesan ini menjadi lebih kuat dan membekas,” ujar Ananta.
Sorotan utama dalam kirab ini adalah pementasan Baruna Murti, sebuah lakon yang diangkat dari mitologi Hindu-Bali. Kisah ini mengisahkan Dewa Baruna, penguasa lautan, yang menghadapi murka alam akibat ulah manusia yang serakah dan merusak ekosistem laut. Dibawakan oleh siswa dari semua jenjang, mulai dari PAUD hingga SMA dan SMK, pertunjukan ini memukau penonton dengan koreografi yang apik dan penghayatan mendalam terhadap pesan moral yang diusung.
Pesan ekologis dari Baruna Murti semakin terasa nyata saat parade ogoh-ogoh melintasi jalanan. Setiap ogoh-ogoh menjadi simbol murka alam, mengingatkan masyarakat akan bahaya eksploitasi lingkungan. Parade ini menempuh rute dari SD dan SMP Widiatmika menuju depan Bali Paragon Resort Hotel sebelum kembali ke sekolah.
Sebanyak delapan ogoh-ogoh diarak dalam pawai ini, terdiri dari tiga ogoh-ogoh besar, satu ukuran sedang, dan empat ukuran kecil. Semua ogoh-ogoh dibuat sepenuhnya dari barang-barang bekas seperti kardus, plastik, dan kain perca. Proses pembuatan ogoh-ogoh melibatkan siswa dari berbagai jenjang yang berkolaborasi untuk mengubah limbah menjadi karya seni bermakna. Setiap ukuran ogoh-ogoh pun merepresentasikan beragam dampak bencana yang diakibatkan oleh ketidakseimbangan ekosistem.
“Dengan menggunakan barang bekas untuk membuat ogoh-ogoh, kami ingin menanamkan pola pikir ramah lingkungan kepada siswa. Kirab Budaya ini bukan hanya ajang pelestarian tradisi, tetapi juga wadah edukasi yang mengajarkan pentingnya menjaga keseimbangan alam,” tambah Ananta.
Ananta berharap Kirab Budaya Sekolah Widiatmika 2025 dapat meningkatkan kesadaran akan pentingnya pelestarian alam, menumbuhkan rasa cinta terhadap budaya lokal, serta membangun kebersamaan dan semangat gotong royong.
“Kami ingin menanamkan nilai-nilai kearifan lokal melalui seni dan budaya, sembari membangun kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan. Jika generasi muda memahami hal ini sejak dini, masa depan Bali yang lebih lestari bisa kita wujudkan bersama,” tutupnya.
Dengan menggabungkan tradisi dan kesadaran lingkungan, Kirab Budaya Sekolah Widiatmika 2025 sekali lagi membuktikan bahwa pendidikan bukan sekadar teori, melainkan juga aksi nyata untuk menciptakan generasi yang lebih peduli, berbudaya, dan berdaya.
___