Tue, 25 Mar 2025
JIMBARAN – Sekolah Widiatmika mempersembahkan Kirab Budaya 2025 dengan cara yang tidak biasa. Tahun ini, ogoh-ogoh yang diarak bukan hanya simbol pengusiran roh jahat, tetapi juga suara lantang tentang krisis lingkungan. Dibuat dari bahan-bahan daur ulang seperti kardus, plastik bekas, kayu sisa, dan kain perca, ogoh-ogoh tersebut menggambarkan kemarahan alam atas eksploitasi yang dilakukan manusia.
Dengan mengusung tema Amuk Kaning Pertiwi (Alam Murka), Kirab Budaya tahun ini menjadi momentum bagi seluruh komunitas sekolah untuk merefleksikan hubungan antara manusia dan lingkungannya. Subtema “Bhuta Kala Murka Akibat Kerusakan Alam” secara khusus menghadirkan ogoh-ogoh yang mencerminkan bencana seperti banjir dan polusi udara.
“Bentuk ogoh-ogoh kami menampilkan sosok raksasa dengan ekspresi marah, dihiasi ranting, plastik, dan limbah lain yang dikumpulkan siswa. Kami ingin siswa memahami bahwa menjaga keseimbangan alam adalah bagian dari filosofi Hindu Bali—hidup selaras dengan alam,” ujar Ananta Victorious Octabrian, Ketua Panitia Kirab Budaya Yayasan Widiatmika 2025.
Seluruh jenjang pendidikan, dari PAUD hingga SMA dan SMK, terlibat aktif dalam proyek ini. Siswa membentuk tim desain, konstruksi, dan dekorasi. Mereka tidak hanya merancang dan membuat ogoh-ogoh, tetapi juga mengumpulkan sendiri bahan-bahan bekas dari lingkungan sekitar. Di bawah bimbingan guru seni dan guru sains, karya ini menjadi sarana belajar lintas disiplin yang menggabungkan nilai budaya, kreativitas, dan kepedulian ekologis.
“Dengan prinsip 3R (Reduce, Reuse, Recycle), kami mengajak siswa untuk berpikir bahwa sampah bukan hanya limbah, tapi bisa menjadi sesuatu yang bermakna. Ini bukan sekadar proyek seni, tapi juga bentuk tanggung jawab,” tambah Ananta.
Kirab Budaya akan digelar pada 25 Maret 2025, dan ogoh-ogoh hasil kreasi siswa akan diarak keliling sekolah. Lebih dari sekadar perayaan tahunan, kegiatan ini menjadi medium refleksi bersama bahwa bumi sedang tidak baik-baik saja, dan suara itu bisa disampaikan melalui budaya.
Dengan pendekatan yang kreatif dan aplikatif, Sekolah Widiatmika membuktikan bahwa pelestarian budaya dan kepedulian lingkungan tidak harus berjalan terpisah. Melalui tangan-tangan siswa, tradisi tetap hidup, dan bumi pun ikut dijaga.
___